Data Singkat
Dr. H. Subrata, Drs, MH., Dirjen RTF (1983-1987) dan Dirjen PPG (1990-1997) / Tiga Konsep Pembangunan Seutuhnya | 4 Jul 1940 | Ensiklopedi | S | Member | Laki-laki, Islam, Jawa Barat, UGM, Dirut, reporter, dirjen, staf ahli, tvri, Lemhannas
Hidup Si Anak Desa
![]() |
Dr. H. Subrata, Drs, MH. |
Subrata
memang bukanlah satu-satunya anak desa yang berhasil menjadi ‘orang’. Tetapi
kisah hidupnya pantas dicatat sebagai sebuah ‘buku hidup’ yang memancarkan
pelajaran dan semangat bagi dirinya dan bagi banyak orang. Dia Si Anak Desa, putera
dari K.Mukahar (ayah) dan Hj.Fasini (ibu), tinggal di desa Mayung, sebuah desa
kecil yang berjarak kurang lebih 14 Km dari kota Cirebon.
Dia
mengenal pendidikan di desa kelahirannya sendiri hanya sampai kelas tiga SD.
Karena kelas 4 sampai kelas 6 belum ada di desanya, maka ia harus berjalan kaki
ke kecamatan yang berjarak kira-kira 3 km dari desanya setiap hari. Sedangkan
setelah SMP hingga SMA kelas dua, ia bersekolah ke Cirebon karena di kecamatan
belum ada. Setelah kelas 3 SMA ia sengaja pindah ke Yogyakarta dengan maksud
mengambil rayon agar bisa masuk ke Universitas Gajah Mada.
Ia
memilih bersekolah di Yogyakarta karena ia menilai biaya hidup dan uang kuliah
di sana relatif lebih murah dibandingkan dengan kota lain. Sebab saat itu
(tahun 1960-1965) biaya kuliah di UGM hanya Rp. 240 per tahun.
Berangkat
dari keluarga yang sangat sederhana dimana orang tuanya hanya buruh tani,
dengan kondisi daerah yang juga tidak begitu surplus. Serta pengalaman masa
kecilnya sebagai pengungsi yang harus berjalan kaki begitu jauh dari desa satu
ke desa lain ketika penjajahan Nippon dan masa pergerakan DI/DII tahun 1948.
Ditambah lagi dengan tanggung jawab moral sebagai anak laki-laki yang paling
besar di keluarganya, (anak kedua dari 6 bersaudara, yang pertama perempuan)
yang selalu diharapkan orang tuanya agar bisa lebih berhasil, akhirnya
menggembleng dirinya menjadi seorang pekerja keras.
Syukurlah,
walaupun ayahnya hanya bersekolah sampai kelas 3 (telu) sekolah rakyat (SR) dan
ibunya hanya sekolah pesantren di desa itu juga, kedua orang tuanya sudah
berpola-pikir jauh ke depan. Mereka selalu membimbing dan memperjuangkan agar
anaknya terus sekolah dan belajar yang terbaik. Dengan prinsip, semampunya akan
tetap memperjuangkan pendidikan anaknya sampai selesai, akhirnya ayahnya pun
memberangkatkannya kuliah. Dan hasilnya, pada tahun 1965 dia berhasil
menggondol gelar Doktorandus (Drs) dari Fakultas Sosial Politik, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, UGM, Yogyakarta. Ia menjadi sarjana pertama dari
desanya.
Pria
yang memegang prinsip ‘kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” ini, dalam mencari
ilmu benar-benar seperti musafir yang kehausan di padang pasir. Tanpa mengenal
lelah dan cukup, pada usianya yang sudah 63 tahun, ia masih kuliah mengambil
Program Doktor Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung. Dan menyusun disertasi yang berjudul: ‘Kajian Hukum Kejahatan
Teknologi Informasi dalam Perspektif Perlindungan Intelectual Property Right
(hak kekayaan intelektual)’. Dalam rangka itulah dia harus ke Luar Negeri untuk
melakukan riset, seperti baru-baru ini dia baru kembali dari Amerika untuk
riset di Rochester, Chicago, dan New York.
Disertasi
tersebut dipilih karena dilihatnya di Indonesia ini belum ada hukum atau UU
yang mengatur mengenai dunia cyber, misalnya mengenai kloning kartu kredit,
digital signature dan sebagainya. Padahal, menurutnya, sudah banyak kejahatan
yang terjadi di bidang itu tetapi belum tersentuh perundang-undangan.
Dalam
menumbuhkan semangatnya agar belajar yang baik, ayahnya selalu memberikan
pengajaran yang kadang, menurutnya saat itu sangat naif. “Ayah ini hanya buruh
tani. Berangkat pagi pulang sore, begitu saja terus saban hari. Kalau dipikir
apa sih yang dicari dalam hidup ini, kan cari uang. Tapi kalau kamu nanti tahu
rahasianya, sebetulnya bukan kamu yang mencari uang tapi uang yang mencari
kamu, asalkan tahu kuncinya yaitu dengan ilmu pengetahuan yang harus kamu
mililki,” ucapnya mengutip perkataan ayahnya. Perkataan yang sampai sekarang
betul-betul diresapinya.
Demikian
juga halnya mengenai masalah warisan. Walaupun jumlahnya tidak seberapa, namun
ketika itu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu keluarga. Dalam hal
ini pun ayahnya selalu mengatakan bahwa warisan bukan hanya harta yang ada pada
keluarga tapi harta yang paling mahal adalah pengetahuan. Sebab pengetahuan
sukar dirampok dan akan bermanfaat terus.
Menurut
Sang Ayah, apalah artinya warisan keluarga seperti yang dimilikinya, yang hanya
sebidang tanah dan dua ekor ternak, kalau dibagi juga tidak seberapa. Jadi
warisan yang sebenarnya, menurut ayahnya, adalah ilmu pengetahuan dan berguna
di tengah-tengah masyarakat. Sebagai anak bangsa, ayahnya berharap, anaknya
bisa diterima oleh masyarakat dan bangsa ini. Dan hal itu bisa manakala belajar
dengan sukses. Maka selain pengetahuan rohani atau pengetahuan agama, ayahnya
juga selalu menanamkan kepadanya pengetahuan bermasyarakat.
Dalam
menanamkan pengetahuan bermasyarakat, seperti agar terbiasa berhadapan dengan
masyarakat banyak, ada satu cara dari ayahnya yang mungkin agak unik namun luar
biasa. Pada usia yang masih anak-anak, dia sudah dibiasakan untuk bicara formal
di depan orang banyak. Seperti apabila ada gawean, ayahnya selalu membawanya
serta. Dia selalu dibiasakan untuk menanyakan pada yang punya gawean mengenai
hajatan apa yang diselenggarakan, kalau menikahkan anak, nama anaknya siapa,
nama menantunya siapa, dan sebagainya. Dan kalau khitanan, siapa nama anak yang
khitanan, berapa umurnya dan sebagainya.
Dengan
berbekal itu, pada saat acara pagelaran gamelan maupun wayang, oleh ayahnya,
pagelaran disuruh berhenti dulu sebentar, kemudian ayahnya mengangkatnya ke
atas meja atau panggung untuk memberikan kata sambutan mewakili tuan rumah.
Dengan begitu ayahnya selalu memotivasinya untuk sanggup berhadapan bahkan
berbicara dengan orang banyak termasuk di depan orang yang lebih dewasa
darinya. Motivasi yang kemudian sangat memengaruhi mentalnya.
Kenangan
masa kecilnya ketika di desa itu selalu muncul terutama saat-saat
keterlibatannya dalam suatu forum internasional, dimana dia selalu berpikir,
‘Anak desa bisa juga sampai di sini’. Dan ketika teringat masa di desa itu,
kenangannya langsung pada ayah tercinta yang dipanggil Tuhan sebelum melihat
keberhasilannya yang sudah bisa memenuhi harapan beliau. Ayahnya meninggal
tepat seminggu sebelum dia berangkat ke Glasgow. Sedangkan ibunya masih sempat
melihatnya berhasil yakni ketika dia sudah jadi Direktur TVRI, malah mereka
masih sempat berangkat haji bersama.
Sebegitu
melekatnya pengaruh kenangan kehidupan desa yang dinilainya merupakan kehidupan
yang murni, dimana manusia selalu memanusiakan manusia, saling tolong menolong,
gotong-royong, orang-orang tua selalu memerhatikan perkembangan anak-anaknya,
kehidupan yang benar-benar membawa nuansa kesejukan. Suasana kehidupan yang
kemudian membimbingnya dalam berlaku dan bertindak dalam kehidupannya.
Dengan
dasar itu sehingga ayah dari Gitawati Setianingsih (wanita), Gangga Laksamana,
Patria Laksamana, Clyde Laksamana, dan Hira Laksamana ini ingin menanamkannya
kepada anak-anaknya. Maka memasuki tingkat pendidikan SMA, semua anak-anaknya
selalu disekolahkannya di Cirebon. Dengan begitu dia berharap nuansa kehidupan
desa tertanam pada jiwa anak-anaknya.
Namun
setelah menyelesaikan SMA di sana, anak-anaknya dikuliahkannya di Jakarta dan
sampai gelar master, anak-anaknya menimba ilmu di luar negeri (Amerika Serikat
dan Australia). Ia tidak bermaksud gagah-gagahan, tapi di samping agar mendapat
pendidikan yang lebih baik, juga dengan harapan agar anak-anaknya tersebut nantinya
bisa bermasyarakat dengan baik terhadap semua lapisan masyarakat sebagaimana
didikan orang tua dulu kepadanya.
Ia
memang sangat menghormati dan mengasihi kedua orang tuanya sehingga dengan
segala kemampuannya ia selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang tuanya
bahkan selalu berusaha menyenangkan perasaan mereka. Maka selama
pengembaraannya, pantang baginya mengabarkan kesulitannya. Menurutnya, haram
hukumnya. Dalam hatinya, ayah ibunya sudah memberangkatkannya semampu mereka
dan mendoakan dengan luar biasa, tidak pantas lagi dibebani dengan berita
cengeng.
Sehingga
kalaupun ia suatu ketika kekurangan sedikit biaya semasa mahasiswa dulu, dia
menutupinya dengan mengamen. Sebagai pemain gitar juga tarling, bersama
teman-teman mahasiswanya ia cukup percaya diri, apalagi ketika itu dia hafal
ulang tahun kantor-kantor di Yogya sehingga ada event yang tepat bagi mereka
ngamen di situ, termasuk di Malioboro dan sebagainya.
Obsesi Melestarikan Budaya
Dia
bukan hanya seorang eksekutif dan birokrat, tetapi juga seniman. Maka di dalam
setiap langkahnya, dia tidak melupakan pendekatan budaya. Selama ini, orang
barangkali melihatnya hanya dari jabatan formalnya. Padahal di balik itu,
alumni Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Sosial Politik, UGM, Yogyakarta,
ini adalah seorang seniman dan penimba ilmu yang tidak kenal lelah yang selalu
berusaha memperjuangkan kelestarian seni budaya bangsa.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkKDzXbgB9gASSJ-ThXxOXUeaVNM4PjZ7OtoqOLlT4lgQQrwrw5CMo87gVLXf1Zx0cvEwIiEVpyhSoxD0wpTNz3cQhqujzT3rcdwtfLwqpNbMAQx2NdD2xET5Q-1BblB8SsSStrWpPjv0/s320/308996_7e842b5c-a5ad-11e4-9edf-43964908a8c2.jpg)
Si
penari kecil itu tidak pernah belajar pada seseorang yang profesional. Tapi
mutlak hanya karena pengaruh kesultanan sebagai pusat kreatifitas seni tari dan
gamelan yang banyak terdapat di Cirebon seperti Kesultanan Kesepuhan,
Kesultanan Kanoman maupun Sultan Kacirebonan. Dan berhubung di daerah-daerah
juga keluarga kesultanan-kesultanan tersebut ada maka sebagai anak desa dia
biasa menonton walaupun hanya dari luar pagar saja. Justru dari sanalah awal ketertarikan
dan pengetahuan pria yang punya bakat alam ini menari.
Dari
kehidupan di Yogya ketika kuliah di UGM, ia punya kesan-kesan yang cukup
berharga dikenang dengan almarhum Affandy. Pada jaman itu, pelukis kondang ini
sudah hebat, sudah mempunyai mobil Impala yang kala itu masih sangat jarang
dimiliki orang. Walau kos-kosannya di Bintaran Wetan tapi dia sering ke
padepokan pelukis maestro tersebut. Di sana dia banyak belajar mengenai alur
kehidupan seorang seniman. Apabila Sang Maestro ceramah ke sanggar-sanggar, dia
ikut bantu-bantu jaga petromak.
“Saya
masih ingat kalau beliau ada tamu, tidak seperti orang-orang biasanya
menyediakan kue dan segala macam di meja. Tapi saya disuruh menyiapkan tali,
kemudian menggantungkan pisang yang sudah matang yang masih tandanan persis di
tengah meja setinggi kepala. Jadi tamu dipersilahkannya makan pisang tersebut
dengan mengambil sendiri seperti memetik dari pohonnya sambil ngobrol-ngobrol,”
katanya mengenang kebersamaannya dengan Sang Maestro.
Kadang
dalam kegiatannya sebagai penari, ia harus manggung di kecamatan lain, sehingga
harus diantar oleh ayahnya dengan naik sepeda. Dengan berboncengan, ibunya di
belakang, dia di depan dan ayahnya sendiri yang nguntel, mereka berangkat.
Walaupun biasanya dia harus menari sampai jam 3 pagi namun besok paginya dia
tetap sekolah.
Sejak
terlibat sebagai penari, menjadi pengamen, bertemu dengan tokoh seniman sekelas
Affandy membuat keinginan dan cita-citanya melestarikan budaya daerah sebagai
bagian dari budaya nasional, tumbuh dan terus berkembang sampai sekarang.
Untuk
mewujudkan keinginannya, bersama teman-temannya antara lain: Pak Ismael Saleh
mantan Menteri Kehakiman RI, Pak Suparno mantan Dirut Garuda, Iman Taufik dari
Kadin, Subadja Prawata pengusaha serta beberapa orang yang lainnya, dibentuklah
satu yayasan yang bernama ‘Yayasan Budaya Sunyaragi’. Di yayasan itulah ia
bersama teman-temannya membina seniman/seniwati yang jumlahnya 1133 orang
terdiri dari seniman tari, seniman kerajinan tangan (handicraft), maupun seniman
lukis.
Sunyaragi
itu sendiri merupakan nama dari Goa Sunyaragi yang berluas kurang lebih 17,8 ha
peninggalan sejarah Walisongo yaitu Sunan Gunung Jati. Sunyaragi ini terletak
di salah satu sudut kota Cirebon. Desa Mayung, desa tempat kelahiran Subrata
sendiri kurang lebih 14 km dari goa Sunyaragi ini.
Telah
banyak yang dihasilkan seniman-seniwati yang tergabung dalam yayasan itu, satu
dari hasil seni para seniman itu terpampang indah di ruang kerja Subrata di
Perum Percetakan Negara Jalan Percetakan Negara No. 21, sebuah lukisan kaca
yang menggambarkan kapal-kapal di suatu pelabuhan.
Untuk
melestarikan budaya itu, seperti seni tari dan lainnya maka ketika ia melihat
di Yogya terdapat ‘Open Stage’ – Panggung tebuka Prambanan dengan latar
belakang keindahan candi Prambanan, hal itu memotivasinya membuat panggung
terbuka dengan Goa Sunyaragi sebagai latar belakang yang merupakan petilasan
bersejarah di Cirebon. Panggung terbuka yang akhirnya menjadi kolosal tersebut
merekrut anak-anak desa sekitar Cirebon yaitu para pelajar, mahasiswa dan
pemuda di sana. Sehingga begitu ada pertunjukan, 350 orang seniman langsung
dilibatkannya.
Seperti
Pagelaran Budaya yang diselenggarakan di samping Goa Sunyaragi pada tahun 2001
lalu. Pagelaran yang sangat memukau ini mengundang tokoh-tokoh seperti Bagong
Kusudiardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan tokoh budaya dan seniman lainnya
yang didokumentasikan dalam bentuk video berdurasi 90 menit.
Banyak
orang akan menyangka bahwa pagelaran itu merupakan karya orang-orang profesional.
Formasi-formasi barisan para penari ketika memasuki dan meninggalkan panggung
sangat serasi ditambah dengan gerakan formasi itu sendiri ketika membawakan
tarian dengan melibatkan puluhan penari sekali manggung, begitu juga dengan
pemilihan warna-warni dan gerakannya yang padu, menakjubkan.
Ketika
membawakan tari topeng, maka tari topeng yang sudah biasa kita lihat, menjadi
tampil berbeda dengan lenggak-lenggok 50 penari topeng sekaligus dengan tetap
pada formasi yang tertata apik. Keindahan dan keserasian tarian-tariannya
membuat orang tidak akan menyangka bahwa sebenarnya para penari-penari muda itu
adalah anak-anak remaja dan pemuda dari sekitar Cirebon sendiri dan dengan
waktu latihan yang sangat singkat, hanya sekitar tiga setengah bulan. Anak-anak
dari desa itu memang bakatnya luar biasa.
Melihat
Bali yang seluruh masyarakatnya boleh dikatakan tidak ada yang terlepas dari
bakat-bakat seniman, baik sebagai pematung, seniman tari dan sebagainya membuat
Subrata juga berpikir untuk menjadikan hal yang sama di Cirebon. Dengan adanya
yayasan tersebut, hal itu sudah hampir terlihat sekarang dimana sepanjang
daerah Pantura dari Indramayu sampai Cirebon sudah banyak tumbuh
sanggar-sanggar seni.
Dengan
niat melestarikan seni budaya nasional, dia juga mengajak agar setiap orang
melakukan hal yang sama di daerahnya masing-masing. “Satu asumsi, bangsa ini
bisa dibangun hanya dengan melalui pendekatan-pendekatan sosial budaya. Kalau
hal itu tidak bisa dilakukan maka akan ada ketimpangan,” katanya mendukung anjurannya.
Sebagai
orang yang berasal dari desa dan mencintai seni, Subrata ikut membina ratusan
seniman pinggiran. Mereka terdiri dari pelukis, pengrajin dan lain sebagainya.
Satu di antara karya mereka terpampang di ruang kerja Subrata. Lukisan kaca
yang menggambarkan kapal-kapal di sebuah pelabuhan.
Pencetus Ide ‘Dunia
Dalam Berita’
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9yDi_3WbpYl0RwJfoJAYNkhA5zrqoXdvGKby_lnrdC6Qt7snkMT7a9YOa3TjHeHYqHuIJXttgGWvL-Iy9JTnN8U2Pz3wYsEFLJ6aPkYkDxD4p1-yNG3VCEpw61cbPGS_J7WhT1K-fVZU/s200/308996_7ed7198e-a5ad-11e4-9edf-43964908a8c2.jpg)
isah
hidupnya menjadi suatu ‘buku hidup’ yang melukiskan bagaimana kiprah gemilang
seorang anak desa meniti karir dan memaknai hidupnya. Pria kelahiran desa Mayung
(14 km dari Cirebon) 4 Juli 1940, ini memulai karirnya sebagai reporter TVRI
tahun 1966. Selain berjuang menapaki jenjang karir ia juga memaknai perjalanan
hidupnya sebagai seniman, pekerja sosial dan pencari ilmu sepanjang hayat.
Dalam
perjalanan meniti karier, banyak sekali ia memetik pengalaman yang unik dan
menyenangkan. Datang ke Jakarta setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas
Gajah Mada, ia sempat menjadi kenek omprengan sambil melamar ke beberapa
instansi pemerintah maupun kantor swasta. Lamarannya diterima di beberapa
instansi, tapi terasa tidak memenuhi keinginannya. Akhirnya ia memilih menjadi
wartawan, bidang jurnalis yang selalu menarik perhatiannya. Ia menjadi reporter
sekaligus kameramen TVRI tahun 1966.
Di
TVRI dia tidak langsung sebagai pegawai tetap, karena baru setelah tahun 1975
dia diangkat menjadi pegawai tetap. Maka di awal perjuangannya di TVRI, untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, ia terpaksa bekerja serabutan. Selain menulis
berita, dia juga merangkap sebagai juru kamera dan reporter.
Kegigihannya
tersebut membuahkan hasil yang menggembirakan. Tanpa diduga sebelumnya, dia
terpilih mendapat beasiswa untuk mengikuti pendidikan di The Thompson
Foundation College, Glasgow, Skotlandia-Inggris, pendidikan yang memberinya
pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berprospek ke depan seperti masalah
elektronik sampai satelit. Ia juga belajar tentang kameramen dan reporter serta
mempelajari bagaimana pola retorika masing-masing 27 peserta didik, bagaimana
pidato dan sebagainya. Pendidikan tersebut diselesaikannya tahun 1969. Sehingga
pada tahun 1970, dia menjadi penyiar dan kameramen di TVRI. Atur
Lorielcide – Marjuka (Bersambung)
Koper Kaleng
Saat
mengikuti pendidikan tersebut ada beberapa pengalaman yang sangat menarik
sehingga dianggap menjadi bagian yang tak terlupakan dalam sejarah perjalanan
hidupnya. Salah satunya, ketika hendak berangkat ke Glasgow, semua temannya
dari 27 negara yang mengikuti pendidikan tersebut sudah siap berangkat. Mereka
sudah di luar Presiden Hotel, London Inggris, tempat penginapan mereka sebelum
menuju Glasgow. Saat itu kebetulan dia sendiri yang datang paling akhir
sehingga semakin memperlihatkan keadaannya yang hanya memakai jas tipis dan
koper kaleng yang membuat perasaannya sedikit minder. Namun semangatnya yang
tinggi mengalahkan perasaan itu karena dalam hatinya yang terpenting adalah
ilmu.
Walau
dia sempat merasa minder karena memang sebelumnya, ketika baru turun di Hithraw
— lapangan terbang London — dia sudah merasa dipermalukan. Ketika itu, penjemput
menanyakan mana kopernya, maksudnya hendak dibawa ke mobil. Dia menunjukkan,
tapi penjemput tadi tidak mau mengangkatnya. Melihat bentuk tasnya agak asing
dan terbuat dari kaleng, barangkali penjemput tadi menyangkanya berisi ular.
Akhirnya, tas itu diangkatnya sendiri.
Sesampainya
di Glasgow, dia tambah kedinginan karena di sana mulai bulan September memang
lebih dingin daripada di London. Beruntung, karena lewat pengumuman dia
mengetahui bahwa siapa yang tidak memiliki baju dingin, boleh meminjamnya dari
Colledge. Di sana pun dilihatnya, semua temannya dari 26 negara tadi tidak ada
yang mengambil kecuali dia sendiri.
Walaupun
colledge tersebut dalam menyediakan baju dingin ‘tidak sopan’, namun sudah
sangat membantunya. Dalam hatinya yang penting sehat. Dibilang tidak sopan
karena khusus jas di colledge itu, semua kancingnya terbuat dari kayu memanjang
sekitar 7 cm, padahal yang biasa adalah kancing kecil. Jadi saat dipakainya,
orang-orang sudah tahu bahwa baju itu adalah baju pinjaman. Sehingga dia merasa
dipermalukan juga.
Hal
lain yang membutuhkan ketabahannya saat itu adalah bagaimana mempergunakan uang
yang hanya $10 yang diberikan Yayasan TVRI, yayasan yang memberangkatkannya
untuk hidup berbulan-bulan di sana. Dengan duit sebanyak itu, mungkin kalau bukan
anak desa seperti dirinya, tidak akan berani mengikutinya. Dalam pikirannya,
penderitaan yang dialaminya belumlah seberapa bila dibandingkan dengan
penderitaan orang tuanya, saudara-saudaranya, pamannya yang punggungnya
terpanggang terik matahari dari pagi sampai sore di tengah sawah sana. Dengan
begitu, dia tetap merasa terhibur di mana dan dengan situasi apa pun.
Namun
di samping kenangan yang kurang menyenangkan itu, beberapa kenangan indah juga
dialaminya. Salah satunya adalah ketika ia pulang dari Edinburg dalam rangka
KKN (Kuliah Kerja Nyata), ia menemukan selembar cek di atas meja dalam kamar
asramanya. Pengirimnya adalah Pak Ibrahim Adjie (Alm), Dubes RI untuk Inggris,
atas permintaan Pak Mintareja (Alm), Menteri Sosial ketika itu. Pak Mintareja
ini dikenalnya melalui pekerjaannya sebagai wartawan, dan kebetulan bertemu di
Jakarta sebelum keberangkatannya ke London.
Demikian juga ketika mengikuti praktikum dan studi
lapangan di Norwich, dari pesawat helikopter Polisi dia memotret kebakaran yang
kebetulan terjadi di laut. Polisi mengijinkannya ikut karena melihat ia adalah
seorang wartawan. Dengan kamera Bell & Howell, sejumlah film berita
mengesankan dia hasilkan dan dikirimkannya ke Anglia Television. Tak disangka,
film berita hasil liputannya ditayangkan di layar kaca sehingga dia menerima
honor 50 Poundsterling, ditambah lagi 50 Poundsterling karena Visnews tertarik
membeli filmnya.
Dr. H. Subrata, Drs, MH.
Tokoh dari Cirebon kini Almarhum menoreh sangat besar bagi Bangsa Indonesia
,semoga segala amal baktinya untuk negeri yang kita cintai bisa diteruskan pada
generasi pegantinya, semoga.
Hebat , Tokoh Cirebon yang banyak menyerapkan dan mengetuktularkan kebudayaan dan adat istiadat Cirebon sekitar, Semoga Almarhum Bapak Haji Subrata segala amal ibadahnya diterima Allah Swt, serta diampuni segala atas segala kekhlilafan selama hidupnya. Semoga genererasi berikut sebagai suritauladan. Aamin......
ReplyDelete